Di suatu sore yang cerah, Ramon Rodríguez Verdejo, atau yang lebih akrab disapa Monchi, terlihat gusar. Keindahan monumen Obelisk bergaya Mesir kuno, yang terlihat jelas dari balkon ruang kerjanya, tak berhasil jua menenangkan suasana hatinya yang tengah kalut. Telepon berdering 10 menit sekali. Menanti keputusan besarnya jelang tenggat waktu transfer pemain yang akan berakhir dalam hitungan jam.
Menjelang senja, pascamemutar satu album Gipsy Kings tahun 1987, keputusan krusialnya pun diambil secara mantap. Pilihan untuk melego Kevin “Mesin Cuci” Strootman ke Olympique Marseille, adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa lagi dihindarkan.
Pada akhirnya kita semua tahu, Strootman pergi dari Olimpico dengan mahar tak kurang dari 25 juta Euro. Dan di saat yang sama ketika Strootman pergi — menyusul Alisson dan Nainggolan — kita juga akhirnya paham, bahwa reformasi skuat di ruang ganti sedang terjadi.
Monchi si Tak Populis
Sebagai seorang juru transfer Roma, Monchi tak bisa dibilang gagal. Jika saja kita bisa bersepakat bahwa tolak ukur keberhasilan sebuah proses jual-beli pemain adalah revenue (pemasukan) bagi klub, Monchi tentu bisa menepuk dada.
Di musim ini saja, surplus penjualan Roma bisa mencapai 22.6 juta Euro. Selisih uang yang didapat dari hasil melego pemain-pemain kunci sebanyak 162.6 juta Euro, dikurangi uang yang kemudian dikeluarkan untuk memboyong kombinasi talenta-talenta muda dan berpengalaman sebesar 140 juta Euro.
Tapi sayangnya, tidak semua orang bisa bersepakat dengan indikator itu. Bahwa keuntungan sebagai pemasukan klub, adalah salah satu bagian dari kesuksesan saja. Dengan tanpa menafikan elemen-elemen kunci lain, semisal, efektivitas skuat; kebutuhan taktik permainan; hingga faktor non-teknis serupa keinginan fans. Untuk bagian terakhir ini, Monchi memang cukup bermasalah.
Penjualan sejumlah pemain pujaan Romanisti seperti Antonio Rudiger, Mo Salah, Leo Paredes, Alisson Becker, Radja Nainggolan, sampai yang terakhir Kevin Strootman, mengindikasikan bahwa kebijakan Monchi kerap bertentangan dengan kehendak fans, apapun dalih besar di baliknya.
Selama kurang lebih 17 tahun membangun Sevilla, Monchi memang tipikal orang yang berani untuk tidak populer. Menentang kehendak arus utama, demi tujuan besar yang dipandangnya jauh lebih berfaedah nyata.
Nama-nama besar seperti Dani Alves, Julio Baptista, Adriano, Seydou Keita, Carlos Bacca, Aleix Vidal, hingga Ivan Rakitic, adalah bukti sahih kebebalannya dalam memfasilitasi kemauan fans. Dan kini, setelah satu tahun lima bulan menjabat sebagai direktur olahraga di Roma, kebiasaan itu tak diubahnya barang secuil pun.
Monchi tetap gemar menjual pemain-pemain kunci berharga mahal, untuk menggantinya kelak dengan pemain-pemain muda potensial berbanderol miring. Kumpulan pemain hijau pengalaman yang mungkin, siap kembali dilego 3 atau 4 tahun mendatang lewat kucuran dana besar.
Melihat Prospek Roma
Kegemaran Monchi untuk menambal sulam skuat, diiringi nada miring para Romanisti. Julukan satir “AS Roma Mart” kepada manajemen, tak juga membuat James Pallota sebagai Presiden klub bergeming. Karena sejauh ini, persekutuan Monchi dan Pallota masih berjalan mulus.
Baru-baru ini dalam sebuah laporan majalah Forbes, nilai jual AS Roma bahkan telah naik dua kali lipat. Sejak Pallota mengakuisisi kepemilikan Roma dari trah keluarga Sensi di tahun 2012, nilai investasi klub yang mulanya hanya berkisar di angka 308 juta dolar, pada tahun 2018 ini malah naik drastis hingga menyentuh 618 juta dolar.
Dalam kerangka bisnis, apa yang dilakukan Pallota — dan juga Monchi — di balik manajemen keuangan Roma, patut kiranya diacungi jempol. Hanya ganjalan prestasi klub sajalah yang kemudian seolah mencoreng tren positif yang tengah dibangun.
Namun sejatinya, polemik antara memenangkan neraca keuangan dan meraih kemenangan di lapangan semacam ini, memanglah rumit. Tak sesederhana yang dibayangkan. Karena pada ujungya, berpotensi untuk melahirkan debat kusir seperti: telur atau ayam dahulu. Dan pada posisi ini, semua orang bisa berpihak pada salah satu hal yang diyakini.
Mungkin akan jauh lebih produktif sebetulnya, jika perbincangan di antara fans berfokus pada potensi skuat yang dipunyai Roma sekarang. Bagaimana mempadu padankan kemampuan brilian Cristante dan Pellegrini di lini tengah, dengan kecepatan dan akurasi umpan ciamik dari Cengiz Under dan Justin Kluivert di sisi sayap.
Atau juga membuat sebuah analisis mengenai efektivitas duet Manolas-Fazio di lini belakang, yang terbukti dalam 3 partai liga terakhir tidak berlangsung baik, lewat 59 kali catatan lawan melepaskan tendangan langsung ke gawang.
Hal ini bukan berarti saya tak menganggap bahwa kritikan fans kepada manajemen itu buruk. Tidak sama sekali. Kritik dan masukkan selaiknya perlu untuk terus digencarkan pada manajemen, utamanya agar pengelolaan finansial yang ada bisa memberikan efek nyata lewat performa di atas lapangan.
Untuk hal-hal lain di luar itu, selebihnya kita beri kepercayaan besar pada Monchi dan Di Francesco saja. Karena rekam jejaknya selama lebih dari dua windu di Sevilla, telah nyata menghasilkan deretan prestasi di ruang piala stadion Ramón Sánchez Pizjuán.
Tentunya semua hal itu terjadi berawal dari modal kepercayaan para fans Sevilla, pada kejeniusan seorang Monchi. Sekali lagi saya bilang, itu semua diawali dengan modal percaya. Bukan karena olok-olok manja dan hinaan semata.
Jadi, sudahkah Anda memberikan kepercayaan penuh pada Monchi? Saya sudah!
-Linggar
Komentar
Belum Ada Komentar
Tambahkan Komentar